Jumat, 29 April 2011

Ujian Nasional; Antara Kecerdasan yang Diabaikan dan Kecurangan

Oleh : Arman Syarif

DALAM sebuah buku yang sangat sederhana, karya Poile Sengupta berjudul ‘Sekolahku Cintaku’(2004), Hernowo memberikan sebuah pengantar dengan mengutip pandangan Albert Enstein tentang Ujian Akhir atau Ujian Nasional (UN).

Dalam buku tersebut diceritakan, di tengah kecamuk Perang Dunia I, Enstein menulis satu imbauan kepada pemerintah Jerman agar mengakhiri keharusan bagi murid-murid menempuh Ujian Akhir sebagai syarat kelulusan. Enstein mengecam kewajiban mengikuti Ujian Akhir atau Ujian Nasional berdasarkan dua asumsi.

Pertama, ujian akhir itu kurang berguna bagi murid. Kedua, ujian tersebut berdampak buruk. Kurang berguna karena seorang guru dapat menilai kedewasaan dan kemampuan muridnya jauh lebih baik dalam selang waktu dan interaksi yang cukup lama dibanding Ujian Akhir yang waktu dan persiapannya singkat.

Sedangkan dampak buruknya, pertama secara psikologis para murid umumnya akan merasa tegang dan ketakutan dalam menghadapi ujian karena masa depannya banyak ditentukan dari hasil ujian tersebut. Kedua dengan menghafal begitu banyak materi pelajaran bisa membahayakan kesehatan siswa. Apa yang dikeluhkan oleh Enstein di atas, tentu layak untuk dipertimbangkan dalam mengevaluasi sistem Ujian Nasional (UN) di tanah air.

Persoalan lainnya, UN cenderung ‘diskriminatif’. UN yang hanya menguji beberapa mata pelajaran, memberi kesan adanya tingkatan superioritas mata pelajaran dan cenderung menganggap mata pelajaran lainnya tidak terlalu penting, seperti IPS, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Seni, dan mata pelajaran lainnya yang juga amat sangat penting dalam membentuk kepribadian anak didik. Bukankah bangsa ini tengah mengalami krisis moralitas dan akhlak (misalnya). Untuk menjawab persoalan itu tentu kita membutuhkan mata pelajaran atau peran aktif dari guru mata pelajaran non-eksakta.

Hal ini senafas dengan amanah UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pada pasal 1 ayat (1)“ Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Sementara pada pasal 3 “...berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Dengan menguji kecerdasan siswa yang hanya menggunakan beberapa mata pelajaran, penulis pun menjadi teringat dengan sebuah film Singapura yang berjudul ‘I Not Stupid’. Film tersebut menceritakan tentang seorang siswa yang bernama Liu Kok Pin yang selalu diberi label bodoh oleh teman dan gurunya, termasuk oleh orangtuanya. Film tersebut sekaligus menceritakan dua tipologi guru, antara guru yang “cerdas” dengan guru yang konservatif (kaku).

Liu Kok Pin dianggap bodoh karena selalu mendapatkan nilai merah dalam setiap ulangan matematikanya. Setiap kali dia berusaha sekuat tenaga, mencurahkan waktu dan pikiran untuk belajar demi mendapatkan nilai ulangan yang memuaskan, tetapi tetap saja Kok Pin menemui kegagalan. Diakhir cerita, ternyata prestasi Liu Kok Pin sangat mengagetkan. Kelebihan yang dia miliki di bidang seni akhirnya mengangkat nama baik sekolahnya. Melalui guru seninya, gambar Liu Kok Pin yang secara diam-diam diikutkan dalam sebuah kompetisi menggambar anak di Amerika Serikat, ternyata berhasil meraih juara II.

Sesungguhnya film tersebut memberi pesan bahwa kecerdasan siswa mestinya tidak hanya diukur dari penguasaannya pada mata pelajaran tertentu atau kecerdasan logis-matematis dan linguistiknya. Bisa saja sang anak tidak begitu hebat dan pintar pada mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris, tetapi mungkin dia begitu hebat dalam persoalan menggambar atau dalam memetik gitar, dan itu pun sebuah kecerdasan yang harus diapresiasi karena belum tentu dimiliki oleh setiap siswa. Dalam istilah penulis buku “Multiple Intelligences” Howard Gardner, kecerdasan ini disebut sebagai kecerdasan spasial (menggambar, melukis) dan kecerdasan musikal (bernyanyi dan memainkan alat musik). Adapun konsep UN, maka kecerdasan tersebut sudah pasti diabaikan atau tidak diapresiasi.

Kecurangan

Kini, UN sedang berlangsung. UN untuk SMA/MA/SMK/Sederajat dijadwalkan berlangsung pada 18-21 April 2011, sementara untuk tingkat SMP/MTS/Sederajat dijadwalkan 25-28 April 2011. Sedangkan jenjang pendidikan SD/MI direncanakan pada 10-12 Mei 2011. Berdasarkan kebijakan baru pemerintah, kali ini standar nilai kelulusan setiap mata pelajaran ialah 5,5 dengan menggunakan lima macam paket soal. Secara umum, kelulusan siswa pada tahun ini 60 % ditentukan oleh UN dan 40 % ditentukan sekolah yang merupakan penggabungan dari nilai Ujian Akhir Sekolah (UAS) dan nilai rapor.

Pertanyaan mendasar yang mesti dijawab, apakah UN kali ini akan bersih dari “praktik kecurangan” ? Hemat penulis sendiri, sekalipun telah terjadi perubahan standar nilai kelulusan, praktik kecurangan akan tetap ada. Teman saya berkelakar, “UN itu pada dasarnya yang ujian adalah guru, bukan siswa. Siswa bermasa bodoh, tinggal menunggu jawaban dari guru. Jadinya, kebanyakan siswa tidak belajar”.

Hemat penulis, akar persoalannya bukan hanya pada mentalitas curang yang telah membudaya dikalangan oknum guru, tetapi lebih karena sistem dan kebijakan. Yang dimaksud di sini ialah UN itu sendiri. Berdasarkan pengamatan penulis, umumnya perilaku “curang” muncul karena beberapa faktor, pertama alasan kemanusiaan atau kasihan terhadap siswa. Tak ada guru yang mau melihat siswanya tidak lulus dan masa depannya suram hanya karena tidak lulus UN. Kedua alasan untuk menjaga nama baik sekolah. Sekalipun dalam hal ini, kuantitas kelulusan lebih didahulukan ketimbang kualitas lulusan.

Ketiga UN yang hanya kurang lebih empat hari dan banyak menentukan kelulusan siswa, dianggap kurang adil dan cenderung “memberangus” peran guru selama tiga tahun. Keempat standarisasi nilai secara nasional dianggap tidak realistis karena tidak memperhatikan bagaimana fasilitas dan iklim pembelajaran sekolah-sekolah perkotaan dengan pedalaman. Alasan yang terakhir ini tentu terkait dengan persoalan kebijakan, perhatian dan tanggungjawab pemerintah.

Tampaknya kurang logis jika pemerintah pusat tetap memaksakan penerapan standarisasi nilai secara nasional, sementara secara kualitas tenaga pendidik dan sarana prasarana belajar antara sekolah-sekolah di perkotaan dengan pedalaman relatif berbeda. Dalam pandangan sehat penulis, jika kondisi ini belum dibenahi, maka UN akan selalu diwarnai kecurangan.

Sebuah Harapan

Lantas apa solusi atas permasalahan ini? Atau bagaimanakah seharusnya? Hemat penulis, ke depan,  akan jauh lebih baik jika UN hanya dijadikan sebagai alat dan momen evaluasi. Evaluasi terhadap kualitas pendidikan secara nasional setiap tahunnya, dan bukan menjadi faktor yang banyak menentukan kelulusan siswa. Jika ternyata hasil UN rendah, maka seluruh pihak dapat berbenah dan mengoreksi diri, baik dari pihak guru, sekolah, orangtua siswa maupun pemerintah. Dengan hasil UN yang rendah berarti menjadi ‘cambuk’ bagi rekan-rekan guru agar melakukan transformasi dalam metodologi mengajar, dan pemerintah pun dapat terus menggenjot peningkatan kualitas guru, melalui pemberian pelatihan-pelatihan yang bertujuan meningkatan profesionalisme guru.  

Teman mengajar saya dulu (tahun 2008-2010), yang bernama Yasue Kanebayasi asal Jepang, utusan JICA (Japan International Cooperation Agency), bercerita bahwa di Jepang tak ada UN, tetapi tetap ada ujian semester yang bukan menjadi penentu kelulusan siswa. Adapun yang menjadi penentu masuknya seseorang ke perguruan tinggi ialah nilai ijazah dan hasil tes masuk perguruan tinggi. Kata terakhir dari Yasue Kanebayasi saat itu : “yang menjadi faktor penentu kemajuan pendidikan di Jepang adalah tetap perhatian pemerintah dan profesionalisme dari seorang guru”.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More